RI Bisa Jaring Investasi Baterai Mobil Listrik Rp 390 T, Ini Bocorannya

 

Potensi investasi besar bisa masuk ke Indonesia untuk pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik berbasis nikel. Nilai investasinya diperkirakan US$ 20 miliar- US$ 25 miliar atau setara Rp 312 triliun-Rp 390 triliun (kurs Rp 15.600).

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, nilai investasi tersebut merupakan potensi yang bisa didapatkan RI dalam 5 tahun ke depan. Adapun investasi ini ditanamkan dari konsorsium perusahaan yang melibatkan banyak negara seperti China hingga Eropa.

"Tapi untuk nikel buat battery, ini room-nya masih ada. Kita lihat mungkin masih ada sekitar, estimasi kami sekitar US$ 20-25 miliar lagi investasi yang bisa masuk untuk sektor battery ini dalam 5 tahun ke depan," terang Seto dalam forum diskusi di Le Meridien Hotel, Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Ke depan Indonesia tidak hanya akan berfokus pada komoditas nikel. Pemerintah akan membangun ekosistem dari hilirisasi dengan memanfaatkan industri-industri yang ada di dalam negeri.

Secara keseluruhan, menurutnya hilirisasi nikel di Indonesia sudah melewati fase pertama dan kedua dalam hal pengembangan komoditasnya. Hal ini ialah mengubah nikel ore menjadi nickel pig iron (NPI).

"Meskipun untuk bahan pertama tahap 2 kita bikin jalur stainless steel, untuk jalur baterai kita sudah ada prekursor, baterai cell juga sudah ada," ujar Seto.

Menurut Seto, saat ini ekosistem baterai RI sudah hampir lengkap. Hal ini terlihat ari pembangunan konstruksi hilir untuk lithium hydroxide. Hal ini berarti, Indonesia sebentar lagi akan punya ekosistem baterai yang kompetitif.

"Supply chain dunia sekarang, di luar China, ekosistem baterai lithium paling lengkap dengan kapasitas terbesar ada di Indonesia. Jepang, Korea sekarang ada di belakang Indonesia," kata dia.

Tidak hanya baterai berbasis nikel, Seto menilai, Indonesia juga punya peluang besar dalam pengembangan baterai lithium ferro phosphate (LFP). Hal ini selaras dengan mulai beroperasinya pabrik katoda untuk FLP.

Sedangkan untuk anodanya, Seto mengatakan Indonesia punya pabrik anoda baterai lithium di KEK Kendal yang mampu memproduksi 80.000 ton per tahun, terbesar kedua di dunia. Sedangkan, Jepang hanya mampu 10.000 ton per tahun, lalu Korea 160.000 ton per tahun.

"Jadi, kita bicara ekosistem. Ini saya kira satu hal yang kalau saya sendiri berani optimis dalam 2-3 tahun, kalau kebijakan yang konsisten, saya kira ini akan terwujud. Kita akan jadi powerhouse yang cukup kuat selain Tiongkok untuk ekosistem battery," tutur Seto.

Sumber : detik

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel